Dewasa – Mengajari Pacar Les Sambil Ngewe |
Dewasa – Mengajari Pacar Les Sambil Ngewe. Dengan
sedikit kesal dan amarah aku bertanya kepada Hafida, kamu itu kenapa lagi
sih!!!
“Maaf
ya kak soalnya aku juga jarang latihan.
“Nada
kamu melenceng semua, emangnya kalau tidak belajar langsung bisa, jangan dikira
tanpa latihan kamu bisa memainkan nada seksofon yang bagus. Kataku.
Wajah Hafida sedikit membungkung ke bawah dengan
wajah cemasnya, karena sebagai guru music yng melatih anak anak tidak bisa
nyambung hal yang menyebalkan saat murid tidak berlatih sama sekali.
Ditambah
lagi, ketika aku sedang pusing mengerjakan tesis s2ku, dimana mengajar saksofon
adalah satu2nya hiburanku, murid yang satu ini membuat hatiku kesal.
Hafida,
19 tahun, seorang mahasiswi yang kebetulan satu universitas dengan tempatku
mengambil kuliah s2, menurutku sangat berbakat bermain saksofon. Tapi dia
jarang sekali latihan. Terdengar dari nadanya yang melenceng, dan tiupannya
yang tidak statis, pertanda dia jarang menyentuh alat musik itu.
Sebagai
mahasiswa S2 yang membiayai kuliahnya sendiri, bermain musik dan mengajar musik
adalah tulang punggung utama yang membiayai kuliahku. Ayahku tidak bisa
membiayai lagi kuliahku karena beliau sudah lama meninggal.
Uang
yang ibuku berikan setiap bulannya hanya cukup untuk membayar kos saja. Uang
untuk kuliah, juga disokong oleh beasiswa. Tetapi beasiswanya tidak penuh.
Itulah mengapa aku menggunakan bakatku dalam bermain alat tiup saksofon untuk
mencari uang, mengajar maupun bermain di acara2 musik.
Dari
yang kulihat lewat situs pertemanan facebook, Hafida tampak senang sekali
bermain dengan teman2nya entah itu nongkrong di kafe, jalan2 ke mall, maupun
berkunjung ke Bandung dengan teman2nya.
Itu
tidak masalah sebenarnya, tetapi jika dia meninggalkan latihan saksofonnya, itu
masalah buatku. Ada orang yang bilang kalo muridnya ngaco, berarti gurunya yang
ga bener. Itu membuatku menjadi gemas ketika Hafida selalu membuat kesalahan
ketika bermain.
“udah
ya, hari ini sampai disini saja” aku membereskan saksofonku dan buku musik ku.
“tapi kak…” Hafida memotong ucapanku
“tapi
kenapa… pokoknya minggu depan saya tes lagi yang tadi ya, jangan sampe ga bisa
kayak sekarang.” Aku segera bergegas keluar, memakai jaket, mengisi absen guru
di meja resepsionis, dan keluar untuk menyalakan mesin motorku. Sudah mau
maghrib rupanya.
Hafida
menyusulku keluar.
“Kak…
maafin aku ya…. Aku emang lagi banyak kegiatan akhir2 ini, jarang latihan….”
Ucapnya. “yaudah… minggu depan perbaikin oke” aku memakai helmku.
“saya
pulang dulu ya” aku mengendarai motorku menjauhi tempat les itu. Dari spion aku
bisa melihat Hafida masuk ke dalam city car nya.
Pertemuanku
dengan Hafida bermula ketika aku mengisi acara yang diadakan oleh BEM
kampusnya. Dia menjadi panitia, LO band yang beranggotakan diantaranya aku
sendiri. Berawal dari ngobrol2 Hafida rupanya bermain saksofon juga dan dia
ingin belajar dariku.
Karena
aku mengajar di salah satu sekolah musik yang mentereng di Jakarta, kusuruh
saja dia daftar, dan dia pada akhirnya mendaftar untuk menjadi muridku.
Sebenarnya
Hafida menyenangkan, senang melucu dan mudah akrab. Tetapi kekurangannya ya
itu, malas berlatih, entah hari2nya dihabiskan oleh apa selain kuliah. Apakah
itu main, pacaran, aku tidak terlalu tahu, karena obrolan antara aku dan Hafida
hanya berkisar musik, lokal maupun musik global.
Aku
kembali ke kosanku, kunyalakan laptop hasil tabungan sendiri itu. Sebenarnya
aku bukan dari keluarga yang kurang mampu, hanya saja ayahku orangnya disiplin
dan tidak memanjakan anaknya.
Kujalani
pesan ayahku, dan nyatanya, walaupun hanya dari mengajar dan bermain musik, aku
bisa menabung, membayar uang kuliah, dan menyicil motor, walaupun uang untuk
kos masih dibantu oleh ibuku.
Naik
mobil kemana, jalan2, pacarnya pun aku kenal, walau hanya sebatas tahu sama
tahu saja. Anak orang kaya juga. Kehidupan mereka berbeda jauh denganku.
Tampaknya apa2 saja yang mereka inginkan mudah didapat.
minggu
Jam 4 sore. Aku menunggu hujan reda di kosanku. Jam 5 harusnya aku sudah di
sekolah musik itu. Tapi karena aku memakai motor, maka aku hanya bisa menunggu.
Waktu terus berlalu.
Hujan tidak reda.
Hujan tidak reda.
Maghrib
sudah tiba, dan aku sudah menelpon ke sekolah musik itu untuk membatalkan les
hari ini. Aku tidur2an di kasurku, malas untuk keluar kemana2 lagi.
Tiba2
handphoneku berbunyi. Aku melihat layar handphoneku. Ternyata nomor Hafida.
“Halo
kak….” Hafida mengawali pembicaraan
“Eh
kamu, ada apa ? udah tau kan lesnya ga jadi ? “ jawabku
“Aku
ada di depan kosan kakak” lanjutnya
“Eh….
Ngapain ? “ aku heran. Hafida memutus telponnya. Aku bergegas keluar dari kamar
kosanku, dan kulihat Hafida dengan basah kuyup terguyur air hujan, berdiri di
depan gerbang kosanku. Tanpa pikir panjang aku mengambil payung, lari dan
membuka pintu gerbang.
“Lho
kamu kenapa ? kok kehujanan ? mobil kamu mana ? “ tanyaku bertubi2. Hafida
hanya diam saja. DIa menggigil menahan dingin, sekilas kulihat matanya memerah
dan ada bekas tangisan.
Untung
saja tidak ada orang yang lihat, jadi Hafida bisa masuk ke kamarku. Karena
kamar mandinya ada di dalam kamar, kusuruh Hafida untuk mandi. Tak lupa
kuberikan t shirt ku yang ukurannya agak kecil dan celana pendek, juga handuk
yang biasa kupakai.
Aku
agak khawatir sebenarnya. Karena di kosan ini tidak boleh membawa tamu
perempuan ke dalam kamar. Aku tidak tahu apa yang bakal terjadi kalau orang2
kosan mengira aku dan Hafida melakukan hal2 yang tidak senonoh. Aku hanya diam
menatap pintu kamar mandi. Suara air mengalir dari shower bisa kudengar dengan
jelas.
Tak
berapa lama Hafida keluar, dengan memakai baju yang tadi kusiapkan. Dia sedang
berusaha mengeringkan rambutnya dengan menggosok2annya dengan handuk. Bisa
kulihat matanya masih merah.
“Kenapa
sih kamu ?” aku memberanikan diri bertanya
“Ceritanya
panjang kak….” Katanya sembari duduk disampingku, di pinggir ranjang.
“kalo
ga mau cerita ga usah dipaksa” aku lalu berdiri dan memakai jaket
“Saya
beli makan ya, kamu diem disini dulu, jangan ikut keluar, soalnya di kosan ini
ga boleh ada tamu cewek masuk ke dalam kamar” “ dan jangan ribut, nanti
dikirain saya nyelundupin kamu ke dalem” kataku mengingatkan
Aku
tidak habis pikir. Apa yang ada di pikiran Hafida sehingga dia nekat datang ke
kosan guru musiknya. Aku berjalan dengan payung di tengah hujan, menuju tukang
nasi goreng untuk memesan 2 porsi, dibawa pulang.
“Eh…
makan dulu…” aku menegurnya
Hafida
hanya diam. Sejenak kami berdua terdiam beberapa saat.
“Kak…
ada tisu ?” Hafida akhirnya membuka mulut. Aku segera mengambilkan tisu dari
laci meja belajarku. Hafida mengusap air matanya dan menarik nafas panjang.
“Maaf
ya kak aku ngerepotin” Hafida mengambil makanannya dan mulai makan.
“Gapapa
kok, santai aja” “Ntar kalo bajunya dah kering saya anter kamu pulang ya”
jawabku.
“Ga
usah kak…. Aku mau disini aja” pernyataan Hafida membuatku kaget.
“Tapi,
saya kan udah bilang, kosan disini ga boleh nerima tamu cewek sebenernya “ Aku
sengaja mempertegas kata2ku.
“Aku
gak akan ribut kak. Janji” jawabnya
Aku
hanya menghela nafas sambil ogah2an menyantap nasi gorengku. Apa sih maunya
dia, begitu pikirku.
“Kalo
mau minum ambil tuh gelasnya di rak di deket pintu kamar mandi” ucapku setelah
Hafida menyelesaikan makanannya. Hafida menurut dan mengambil gelas, dan
menuangkan air dari dalam dispenser.
Aku
tidak menghabiskan makananku, dan menyalakan laptopku. Jujur saja aku bingung
bagaimana harus menghadapi Hafida. Aku jarang pacaran, ketika kuliah aku malah
tidak sempat pacaran. Sibuk oleh kuliah dan musik. Apalagi sekarang, kuliah,
musik, ngajar. Itulah yang menyebabkanku agak canggung hanya berdua di kamar
dengan seorang perempuan.
“Kalau
mau baca2 majalah itu ada di rak di atas kasur” Aku berkata seperti itu karena
Hafida terlihat hanya duduk di tepi ranjang dan memandang lantai dengan tatapan
kosong
Tapi
Hafida seakan tidak menggubris ucapanku. Dia masih melamun
“Hafida.
Kenapa sih ?” Aku makin penasaran.
Hafida
tampak kaget mendengar pertanyaanku.
“Hmmm.
Aku heran kak apa sih yang dimauin sama laki2” dia membuka dialog
“Kenapa
gitu ?” aku turun dari kursi dan duduk di karpet. Hafida pun turun dari pinggir
ranjang dan duduk di hadapanku.
“Tadi
aku rencananya bolos les kak.” jawab Hafida
“Terus
?”
“Aku
jalan2 sama pacarku tadi. Pas jam 5, jam harusnya aku les, aku di dalem mobil
pacarku, dia lagi nyetir, rencananya mau jalan cari makan terus nonton” Hafida
melanjutkan ceritanya.
“Entah
kenapa handphone dia ditaruh di dashboard. Aku pinjem, mau main game yang ada
di hapenya. Dia ngebolehin, tapi entah kenapa aku tiba2 pingin buka inbox
smsnya”
Halah.
Pasti cowoknya selingkuh, begitu pikirku dalam hati.
“Aku
ngeliat sms2 mesra kak. Gak cuman satu tapi beberapa cewek”
Buset.
Pikirku. Jagoan banget tuh cowok.
“Aku
kurang apa sama dia coba ? bela2in bolos les, bela2in dia, selalu aku temenin,
kok dia begitu sama aku ?” dia mulai menangis lagi.
“Jijik
liat sms2 itu, sayang2an segala macem orang pacaran aja” Aku mengambilkan
Hafida tisu lagi karena airmatanya mengalir deras.
“Terus
gimana ?” aku memintanya melanjutkan ceritanya.
“Aku
marah kak. Tapi dia cuman diem aja ga ngomong apa2. Akhirnya di lampu merah aku
keluar dari mobil”
“Kan
ujan” jawabku sedikit tidak antusias. Entah mengapa kasus ini sangat klasik
pada orang2 yang pacaran. Tapi tampaknya Hafida sangat terpukul oleh kejadian
tersebut.
“Biarin
aja kak. Aku jalan, ngejauh dari mobil, aku bisa denger sih dia nglakson
terus.. tapi setelah jauh dari mobilnya, aku bingung mau kemana. Tapi aku inget
kalo tempat tadi deket sama kosan kakak. Makanya aku kesini”
Memang
dulu Hafida pernah kesini diantar oleh pacarnya, mengambil partitur lagu.
“Terus
? kok kamu malah kesini ? ga pulang aja ?” tanyaku sambil berusaha meyakinkan
dia agar pulang.
“Males
nanti ditanyain sama orang tua. kemana si pacar, kok pulang sendiri. Ribet “
jawabnya
“Lah
kalo dicariin gimana ?” aku makin bingung
“Aku
udah bilang sama orang tua aku mau tidur di rumah temen” “Tenang aja, mereka
percaya kok..”
Aduh.
Entah mengapa menurutku Hafida berlebihan dalam menghadapi masalah ini. Kenapa
gak putusin aja cowok itu, cari taksi, pulang, tidur, besok lupa. Tapi dia
malah repot2 pergi ke kosanku.
“Terus
kamu mau ngapain disini ?” tanyaku dengan malas
“Aku
mau nenangin diri dulu kak..”
Eh.
Bukannya lebih enak di rumah ? disitu kan bisa nangis bombay di depan orang
tua. Dijamin bakal ditenangin, abis nangis besoknya lega deh. Aku bingung
melihat kerapuhannya menghadapi masalah ini.
“yaudah
lah terserah” kataku “tapi inget, jangan ribut, jangan keluar kamar, besok pagi
saya anterin ke rumah”
“Iya
kak” jawabnya
Jam2
berikutnya diisi dengan obrolan2 yang biasa kami lakukan, soal musik, teknik
bermain saksofon. Tak lupa aku menyetel musik keras2 dari laptop dan menyalakan
tv agar suara kami tidak terdengar.
Tanpa
terasa sudah jam 11 malam
“Aku
ngantuk kak.” Kata Hafida
“Hmm.
kamu tidur di atas aja, saya biar tidur di karpet” jawabku sekenanya.
“Enggak
kak aku kan tamu. Aku aja yang tidur di karpet” malah enak di gw. Aku pikir.
Aku mengiyakannya dan menggelar selimut cadangan di karpet, untuk alas tidur
agar agak empuk, dan memberinya selimut tipis serta bantal yang berlebih di
ranjang. Aku mematikan lampu, dan juga naik ke ranjang, bersiap untuk tidur.
“Jangan
dimimpiin kejadian yang tadi ya..” kataku mengingatkan
“Iya
kak.”
Sepi.
Aku hanya menatap langit2 sambil memikirkan caranya besok pagi keluar tanpa
ketahuan yang jaga kos. Kebetulan aja tadi hujan besar sehingga penjaga kos
tidak memperhatikan pintu gerbang. Aku agak kesal dengan sikap Hafida.
Sudah
malas latihan, dan tidak berpikir panjang. Sebenernya muncul rasa kasihan yang
besar dalam diriku. Dia belum dewasa, belum bisa mengambil keputusan dengan
matang, dan akibatnya seperti ini. Ada di kos2an guru musiknya, dan tidur di
lantai. Yasudahlah. Mungkin Hafida butuh teman malam ini, begitu pikirku.
Entah
kenapa aku tidak bisa tidur malam ini, harus kuakui kehadiran Hafida malam ini
merusak pikiranku. Bukan jadi buruk, tetapi pikiranku menjadi kotor. Aku pernah
melakukan seks, sekali2nya waktu baru kuliah dulu. Pengalaman itulah yang
membuatku sedikit membayang2kan bagaimana kalau aku bermain cinta dengan
Hafida.
Hafida
memang cantik, kulitnya putih dan mukanya manis. Dan fakta2 itulah yang membuat
pikiranku menjadi kotor. Coba kalau dia laki2. pasti aku santai2 saja.
Lama
aku tidak bisa tidur. Aku sengaja menghadap ke tembok agar tidak melihat
Hafida. Tiba2.. Jleg. Aku merasa ranjangku dinaiki orang. Aku kaget, sedikit
terkesiap tapi aku berhasil mehanannya. Rupanya Hafida menaiki ranjangku.
“Kak
aku tidur sama kakak ya” katanya dengan nada merajuk. Damn
Aku
tidak bisa menolak karena dia sudah naik ke atas ranjang. “Ehh ni kalau mau
pake selimut. Aku memberikan bagian selimutku pada Hafida. Dia tampak agak
malu, dan segera mengambil bagian selimutnya, dan tidur membelakangiku.
Sial.
Apa2an ini. Kenapa dia naik ? apa karena kedinginan ? atau keras ? atau kenapa
?
Aku
merasakan gerakan di sebelahku.
“Kak
maaf aku sebenernya masih pengen ngobrol” “gapapa kan ?”
Aku
membalik badanku dan mendapati bahwa jarak mukaku dan muka Hafida tidak lebih
dari 2 jengkal. Matanya yang memerah menatapku penuh harap.
“Kamu
ya Dengerin. Kenapa sih mesti gini ? kamu sekarang ada di kamar cowok, tidur
bareng satu kasur. Ga pantes tau. Apa saya tidur di bawah aja ya” Aku berusaha
bangkit.
“Ini
yang aku suka dari kakak” tiba2 Hafida berkata seperti itu.
“Eh..”
Aku heran dan mematung sejenak
“Kakak
orangnya tegas” “gak kayak dia. egois udha gitu ga pernah bisa tegas dan ga
punya pilihan”
“Manda
tapi” Kata2ku terhenti ketika tangannya menyentuh pipiku lembut.
“Aku
suka sama kakak” pengakuannya membuatku terhenyak. Apakah benar ? apa Hafida
Cuma terbawa perasaan akibat baru mengalami kekecewaan dalam berpacaran ?
Aku
mematung. Terdiam. Dalam hati aku mengakui bahwa sosok Hafida yang manis
membuatku tertarik. Tetapi selama ini aku selalu me-ignore perasaan itu karena
1, dia sudah punya pacar, dan 2, aku tidak ada waktu untuk perempuan ditengah
kesibukan tesis, musik dan ngajar.
“Kak”
tangannya terus mengelus pipiku. Aku pun luluh. Tiba2 kami berdua saling
memajukan wajah kami masing2. kami menutup mata dan bibir kami pun bersentuhan.
Kami berciuman dengan pelan dan lembut. Hafida terus maju ke dalam pelukanku.
Aku
meraih pinggangnya, dan menggenggam tangan satunya. Telapak kaki kami saling
bersentuhan dan saling bertautan.di dalam selimut itu. kami berciuman dengan
hangat.
Kami
melupakan batas antara guru dan murid. Walaupun umur kami tidak berbeda jauh,
hanya enam tahun, namun rasanya ini seperti affair yang aneh antara guru dan
murid. Walaupun guru dan muridnya hanya di sekolah musik saja. Kami berciuman
sangat lama. Entah kenapa kami berdua tidak berciuman dengan nafsu dan
tergesa2.
Tangan
kiriku yang menyentuh pinggang Hafida, tiba2 mulai nakal. Tanganku masuk ke
dalam t shirt yang dia pakai. Menyentuh kulit halusnya. Hafida tidak berontak.
Dia malah terus menciumiku. Hafida pun tidak protes ketika tanganku masuk
kedalam celana pendeknya dan memegang pantatnya. Damn. Rupanya dia tidak
memakai celana dalam dan BH.
Aku
melepaskan ciumanku, dan mulai menciumi telinga dan lehernya.
“Ahh
Kak ‘ Hafida tampak menikmati perbuatanku. Tanganku terus bermain mencoba
membuka celana pendeknya. Hafida tidak berontak, kakinya malah beringsut
membantuku melepas celana pendek itu. Pada akhirnya aku melempar celana itu ke
lantai.
Aku
mulai menyentuh pahanya yang sangat mulus. Aku memeluknya erat, menempelkan
perutnya di perutku.
“Kak..
“ Hafida memanggilku
“Kenapa
?” Aku menghentikan ciumanku di leher
“Kalau
mau itu’ pelan2 ya. aku belum pernah” jawabnya pelan dengan nada pasrah dan
tatapan penuh harap.
Apa.
Masih perawan ? aku kaget. Kupikir setidaknya dia pernah tidur dengan pacarnya.
Pantas saja dia tidak bisa menyikapi kelakuan pacarnya dengan benar,
pengalamannya sangatlah minim. Aku terdiam. Mematung. Tidak dapat berpikir
dengan jernih.
“Hafida
kalau kamu gak mau, jangan.” aku mundur
“Gak
apa2 kak. Kalau sama kakak aku mau..” Hafida meraih tanganku.
“Kamu
belum pernah. jangan dipaksa kalau gak mau.” aku berusaha berpikir jernih.
Hafida
terdiam, tetapi dia malah masuk ke pelukanku kembali.
“Aku
mau.” jawabnya pelan
“Aku
Cuma minta kakak perlakukan aku dengan lembut”
“Tapi”
aku masih bertahan
“Kak.
aku mau kasih ke kakak malem ini” “itu karena aku suka sama kakak” “dari
pertama ketemu, tapi kakak tampaknya cuek sama aku. tapi aku makin suka karena
tau kakak orangnya tegas, dewasa, “
“Hafida,
itu cuman perasaan pelarian aja” jawabku
Hafida
hanya diam. Tetapi dia menjawab dengan semakin masuk ke dalam pelukanku.
Dia memelukku dengan erat, dan tidak mau melepasku.
Dia memelukku dengan erat, dan tidak mau melepasku.
“Aku
mau ngelakuinnya cuman sama kakak” Hafida tetap gigih. Kami berpandangan sangat
lama. Hingga akhirnya aku menciumnya kembali. Pertahanan akal sehatku runtuh.
Tanganku
terus melingkari pinggangnya yang ramping itu. Hafida perlahan2 bergerak
menindih tubuhku. Badannya naik ke atas badanku.
Tangannya
mencoba membuka t shirt ku tapi tampaknya dia agak canggung melakukannya. Aku
melepaskan tanganku dari pinggangnya dan membantunya membuka atasanku. Setelah
itu aku berusaha bangkit dan duduk. Hafida memegang bahuku dan mencoba maju
menciumku.
Aku
menahannya dan memegang kedua tangannya. Aku menatap matanya lekat2. Hafida
menatapku malu2. Aku sedikit tegang. Malam ini kedua kalinya aku berhubungan
seks. Dan ini yang pertama bagi Hafida. Jantungku berdetak hebat. Aku
menggenggam ujung t shirt yang dia pakai. Pelan2 kutarik keatas. Hafida menurut
dengan mengangkat tangannya.
Hafida
sudah telanjang bulat di pangkuanku. Kedua tangannya disilangkan, menutupi buah
dadanya yang kecil. Dia sedikit menunduk dan tampak sangat malu. Pasti ini
pertama kalinya dia telanjang bulat di depan laki2.
Aku
memegang dagunya dan mengangkat wajahnya. Tak berapa lama kucium bibirnya
lembut. Aku menggenggam kedua tangannya dan mulai menciumi lehernya, terus
sampai ke buah dadanya yang kecil
Aku
menciumi putingnya. Kurasakan badannya agak gemetar, entah karena geli atau
agak takut. “Uhh.. Kak geli..” Hafida mendesah kecil. Aku berbisik kepadanya
“Jangan terlalu berisik ya nanti bisa gawat kalau ketahuan penjaga kos”
Hafida
mengangguk pelan. Aku melanjutkan menciumi buah dadanya. Sempat kulihat Hafida
menggigit bibirnya. Menahan agar dia tidak ribut. “Ngggh. mmmhhh” Hafida terus
mendesah. Aduh, bagaimana nanti ketika kami sampai ke inti permainan ?.
Aku
menyuruh Hafida untuk turun dari pangkuanku. Aku segera melepaskan celanaku.
Hafida
nampak agak kaget ketika melihat penisku. Ini pertama kalinya juga dia
melihat penis lelaki langsung. Hafida duduk di sampingku. “Hafida, kalau kamu
emang ga siap, mendingan gak usah.” Aku menatap wajahnya yang tampak malu
bersemu merah,
“
Ga apa2 kak. udah sampe sini.” dia tersenyum kecil walau aku bisa merasakan
bahwa dia merasa gugup dan deg2an. Aku memegang lembut tangannya dan mencium
keningnya. Lalu aku menariknya pelan agar kembali duduk di pangkuanku.
Hafida
duduk membelakangiku. Punggungnya sungguh mulus dan bersih. Aku mulai menciumi
bahunya, terus sampai keleher. Kupeluk erat pinggangnya dan bisa kurasakan
tangan Hafida memeluk erat leherku. Lama kuciumi bagian belakang leher dan
punggungnya. Tak tahan lagi, pelan2 kubimbing Hafida untuk berbaring di kasur.
Aku memegang lututnya dan kulebarkan pahanya.
Aku
menindih badannya. Tangan Hafida menahan bahuku. Aku sejenak mematung
memandangi Hafida. Patutkah kurenggut keperawanan perempuan manis ini ?
Haruskah dia melakukannya denganku ?
Hafida
balik menatapku dan berkata “Kak.. pelan2 ya aku tau pasti sakit pada awalnya”
“Kalau
kamu gak mau, bisa kita hentiin sekarang kok.. “ aku menjawabnya.
Hafida
menggeleng pelan. “Aku siap kak..”
Kepala
penisku menyentuh bibir vaginanya yang telah basah. Pelan2 kugesekkan kepala
penisku di bibir vaginanya. Hafida mengejang2 geli. Aku memperbaiki posisi
dengan menggenggam tangannya.
Kurasakan
pelan, penisku memasuki bibir vaginanya. Sempit sekali. Aku berkonsentrasi
penuh memasuki vaginanya.
“Nggggh.Ahhh..
“ Hafida menahan sakit. Bisa kulihat dia menggigit bibirnya dan matanya sedikit
berkaca2. “Uhhhh..” dia menarik napas lega ketika penisku masuk penuh kedalam
vaginanya. Aku mulai menggerakkan penisku maju mundur dengan pelan.
Hafida
tampak menutup matanya, dan meringis seperti menahan sakit. Aku mencabut
penisku. Kulihat penisku berlumur darah perawan Hafida.
“Sakit?
Kalau kamu ga tahan sakitnya ga usah dilanjutin” Aku khawatir
“Gapapa
kak..” Hafida tersenyum dengan mata agak berkaca2.
Aku
menarik nafas panjang, kuputuskan untuk tidak merubah2 posisi bercinta kami,
terlalu dini untuk kami berdua. Ditambah lagi pengalaman kami berdua sangat
minim.
Aku
kembali memasukkan penisku ke lubang vaginanya. Sudah lebih mudah, walau masih
sempit. Kurasakan dinding vaginanya yang hangat mengapit penisku erat.
“Mmmhhhh.kak..
“ Hafida mendesah pelan, dia sudah tidak meringis atau menggigit bibir lagi
seperti sekarang.
Aku
terus memaju mundurkan penisku dengan pelan namun temponya stabil. “Uhhh..”
Hafida tiba2 mencengkram erat bahuku. Seakan ingin mencakarnya.
“Mmmmhhh”
Kaki Hafida mencengkram erat pinggangku. Aku tahu dia akan orgasme. Terlalu
cepat mungkin. Tetapi wajar. Karena ini pengalaman pertama bagi Hafida. Dia
belum tahu bagaimana mengatur tempo, merubah posisi, ditambah lagi malam ini
semuanya aku yang mengendalikan.
Hafida
terus bersuara kecil mengikuti tempo goyanganku. “Nggg mmmmhh.”
Tiba2
aku menghentikan gerakanku. Aku tak ingin aku bablas keluar di dalam. Kaki
Hafida kuat mencengkram pinggangku. Malam ini adalah pengalaman pertamanya.
Wajar jika dia tampak tegang atau gugup. Aku tak mau jika ketegangannya
mengakibatkan kecelakaan yang tidak diinginkan.
“ah.
kenapa kak ?” tanyanya polos dengan nafas tidak teratur
“Enggak
tadi kamu ngejepit pingganggku terlalu keras aku takut kalau nanti aku keluar
di dalem” jawabku.
“oh.
“Hafida
“kamu
santai ya sayang.” aku mengelus rambutnya lembut dan dia hanya mengangguk pelan.
Pelan2 aku mengisyaratkan agar Hafida tidur tengkurap. Dari belakang aku memposisikan kepala penisku tepat di lubang vaginanya.
Pelan2 aku mengisyaratkan agar Hafida tidur tengkurap. Dari belakang aku memposisikan kepala penisku tepat di lubang vaginanya.
Pelan2
aku masukkan kembali. “hmmhhh aaahhhh” Hafida kembali mendesah ketika
kumasukkan penisku. Aku memeluk pinggangnya dan membimbingnya naik. Kami
bercinta dalam posisi doggy style.
Tangan Hafida bertumpu pada kasur.
Aku
menggerakkan penisku maju mundur sembari memegang erat pinggangnya. “Uuuuuh.
Ahhh.. “ Hafida tidak bisa menahan lagi suaranya.
Entah
karena kesakitan atau keenakan. Tapi kalaupun kesakitan, dia tidak berontak.
Hafida terus mengerang. Entah berapa lama kami melakukannya.
“Kak. aku ahhh”
Aku
tau Hafida akan segera orgasme. Tapi aku tidak mencebut penisku. Aku malah
makin bernafsu menggerakkannya. Tumpuan tangannya semakin lemas. Aku secara
refleks malah menarik tangannya kebelakang agar posisi tubuhnya tetap stabil.
Aku
merasakan tubuhnya menegang dan vaginanya menjepit erat penisku. “Aaaaah..
aaaahh.. nggghh.” Hafida mengerang tanpa mempedulikan keadaan kamar kosku yang
mungkin saja suara malam itu bisa bocor ke kamar sebelah.
“Ngggghh
aaaaaaaaaah”. Tak berapa lama aku langsung mencabut penisku dan spermaku lalu
muncrat berantakan di luar vaginanya.
Hafida
langsung dengan lunglai menjatuhkan diri ke kasur. Aku pun merebahkan diri di
sebelahnya. Kami berpandangan dengan cukup lama dan berpelukan sampai kami
tertidur.
Kini,
kami bukan murid dan guru lagi. Tapi lebih dari sekedar itu. Kami sering
menghabiskan waktu bersama di luar les, karena kami sekarang menjadi sepasang
kekasih. Kejadian malam itu, tidak pernah terulang lagi sampai sekarang. Dan
kami tidak pernah mengungkitnya lagi. Biarkan malam itu ada untuk dikenang saja
dalam hati kami masing2.
Cerita Dewasa, Cerita Sex, Cerita ABG, Cerita Dewasa Hot, Cerita Dewasa SMA, Cerita Ngewe, Kumpulan Cerita Dewasa
0 Response to " Dewasa – Mengajari Pacar Les Sambil Ngewe"
Post a Comment